Bismillah
Berbeda dari anak jaman old, anak jaman now sudah dihadiahi oleh orang tuanya dengan berbagai jenis mainan dari umur si anak masih batita sebagai bentuk rasa sayang. Begitu pula dengan anak saya, si sulung Shofi, belum genap 2 tahun, saya hadiahi ia sepeda roda tiga. Ini sebagai hiburan ketika ia sudah bosan bermain didalam rumah maka saya akan ajak ia bermain diluar rumah dengan bermain sepeda. Dan saya, anak jaman old baru diberi sepeda ketika kenaikan kelas 3 SD. Kasian. Waktu itu umur saya 7 tahun. Sepeda yang dibelikan oleh abang-abang saya ini merupakan hadiah sepeda pertama saya. Sepeda kecil merk Subaru berwarna ungu tua. Dan pertama kalinya juga saya belajar naik sepeda dari sepeda ungu ini.
Ada beberapa momen menggelikan yang terjadi antara saya dan 'si ungu'. Saat itu sedang musim liburan kenaikan kelas. Abang-abang saya menghadiahi saya si ungu. Saya senangnya bukan main. Saya langsung saat itu juga minta diajarkan naik sepeda. Pergilah saya dan abang saya membawa si ungu ke sekolah di dekat rumah. Halaman sekolah cukup luas jadi aman untuk berlatih tanpa perlu menabrak sana sini. Saya naik setengah duduk. Saat itu sadel sepeda masih agak tinggi dari pinggang saya. Jadi kalau duduk di sadel maka kaki saya akan menjinjit. Kemudian Abang saya memegang bahu dan kemudian membimbing saya cara memegang stang dan mengayuh pedal sepeda dengan benar. Awalnya masih kaku, setelah beberapa putaran akhirnya saya bisa mengayuh sepeda walau masih agak kaku dan sesekali terjatuh. Dibagian ini adalah wajar ketika seseorang mempelajari sesuatu kemudian gagal. Jarang sekali yang bisa melakukan sesuatu kemudian berhasil dengan hanya satu kali praktek. Begitu pun dengan si kecil tia ini. Matahari pun mulai merambat turun di ufuk barat, melihat saya sudah kelelahan, abang mengajak saya pulang.
Saat berjalan pulang saya melewati rumah sepupu saya yang rumahnya memang dekat dengan sekolah. Si Ungu tidak berani saya naiki karena saya masih takut menaikinya di jalan raya. Ndilalah, sepupu perempuan saya ini kebetulan sedang main di halaman rumahnya. Saya memanggilnya dan dengan jumawanya saya menyombongkan diri sudah bisa naik sepeda, dan tanpa babibu saya langsung naik sepeda dan kemudian mengayuh si ungu dengan semangatnya. Sepupu saya ini cuma berlari mengikuti saya dari belakang. Entah kenapa dengan songongnya, merasa sudah pintar mengayuh sepeda saya menoleh ke arah belakang melihat apakah sepupu saya masih mengikuti dan melihat kelihaian saya mengayuh sepeda. Tiba-tiba ketika saya mengarahkan kepala kembali menghadap ke depan tangan saya kaku tidak bisa membelok-belokkan stang dengan benar dan tanpa disadari saya kemudian terperosok dengan lajunya ke got yang penuh dengan air comberan. Baulah sudah saya dan si ungu itu.
Kelas 3 SD saya ikut abang tertua tinggal dirumah Uwan (nenek perempuan dalam bahasa Melayu) di desa dan bersekolah disana selama satu tahun. Pulang pergi sekolah saya mengendarai si ungu. Letak sekolah cukup jauh untuk seumuran saya waktu itu. Tapi karena bersepeda beramai-ramai dengan teman-teman sekolah yang merupakan tetangga saya membuat ritual pergi dan pulang sekolah terasa menyenangkan.
Dan pada siang hari yang cukup cerah, seperti biasa saya pulang beramai-ramai dengan teman yang rumahnya searah dengan saya. Kejadian jatuh ke got yang penuh dengan comberan saat liburan kemarin itu nyatanya gak membuat saya kapok. Kembali saya berulah. Saya mengajak tanding teman saya yang perempuan siapa yang lebih cepat sampai dirumah. Saya pun ngebut mengayuh si ungu. Belum jauh dari sekolah ada jalan yang sedikit membelok, saya kembali kehilangan keseimbangan ketika memegang stang sepeda. Tangan saya kaku, dan sudah terlambat untung mengerem dengan lajunya sepeda yang saya kayuh. Alhasil saya terperosok masuk ke dalam parit yang cukup dalam bersama dengan si ungu. Untung untuk saya yang tidak bisa berenang, air parit tidak dalam, hanya sebatas lutus dan penuh dengan lumpur. Kotorlah sudah baju merah putih yang saya pakai, bukan hanya pakaian, tapi dari kepala hingga ke dalam sepatu penuh dengan lumpur tanah liat. Haha.. Inilah akibat songong tak kenal kapok.. Teman-teman hanya tertawa diatas penderitaan saya. Ampun dah malunya..
Memasuki masa SMA, abang saya membelikan sepeda gunung bekas tapi kondisinya masih cukup bagus untuk dikendarai. Si ungu sudah terlalu kecil untuk dikendarai badan saya yang bongsor. Maka dari itu, saya hibahkan si ungu ke keponakan ketika saya kelas 2 SMP.
Namanya sepeda bekas meski kondisinya cukup bagus tapi ada beberapa onderdilnya yang sudah seharusnya diganti. Nah, rem sepeda saya ini kondisinya sudah aus, udah gak pakem lagi kalau dipake buat ngerem lajunya sepeda. Tapi saya males pergi ke bengkel. Dengan kondisi rem yang seperti itu saya harus ekstra hati-hati di jalan. Gak bisa ngebut-ngebut. Di tambah lagi saya menggunakan rok yang panjang, karena saya sekolahnya di Aliyah. Ini masalah juga. Saya yang mengenakan rok panjang, terus mengendarai sepeda gunung. Otomatis ruang gerak untuk mengayuh gak luwes lagi.
Kenangan cukup menggelikan bersama sepeda kembali terulang. Untuk mencapai sekolah saya harus masuk ke gang sekolah cukup jauh dari jalan raya. Tidak jauh dari jalan raya ada turunan sedikit. Dengan ruang gerak yang terbatas saat mengayuh juga kondisi rem yang aus, setiap melewati turunan saya selalu berdoa semoga gak ada teman-teman yang rame menuhin jalann atau jangan sampe ada kendaraan lain dari arah berlawanan yang menghalangi jalan saya kalau mau menyalip teman yang lagi jalan kaki. Alhamdulillah doa saya selalu dikabulkan.
Hingga suatu hari, doa saya pagi itu gak dikabulkan. Biasanya saya ke sekolah saat jam mepet, alias saat di sekolah sudah waktunya masuk kelas. Tapi hari itu saya memilih pergi agak pagian. Yang artinya jalanan masuk ke sekolah pasti akan ramai. Benar saja, di depan saya teman-teman bergerombol berjalan kaki ke arah sekolah. Saya memutuskan untuk menyalip para pejalan kaki ini dan tiba-tiba kaget karena dari arah sekolah ada motor yang melaju menuju jalan raya. Yang saya khawatirkan terjadi. Rem sepeda gak bisa diajak kompromi. Mau turun dari sepeda kepalang tanggung. Pas pula dijalanan turunan. Tak ayal, saya yang sudah bingung sekaligus ketakutan, demi menghindari menabrak para pejalan kaki dan motor dari arah berlawanan, saya belokkan sepeda saya ke arah kanan, dan meluncurlah dengan mulus nan bergaya saya dan si sepeda terjerembab ke semak-semak yang jauh dari lintasan jalan. Pagi itu berakhir sangat kacau, baju saya kotor. Mau pulang ganti baju tidak memungkinkan. Terpaksa dengan kondisi seperti itu saya seret si sepeda menuju sekolah dan terus merutuk dalam hati. Malunya lagi jahitan pinggir rok saya robek serobek-robeknya. Untungnya saya pakai celana olahraga di dalamnya. Seharian itu saya jadi bahan olokan teman sekelas. Saya sendiri cuma bisa ketawa aja, padahal dalam hati meringis menahan tangis.
Beberapa kejadian bersama sepeda-sepeda saya sering membuat saya tertawa geli sendiri. Kenangan ini menjadi pelajaran hidup. Betapa bodoh dan naifnya saya di masa-masa itu. Terperosok bersama dengan sepeda-sepeda hanya karena sombong dan malas di diri. Hingga saat ini masih sering pula khilaf karena sering berlaku sombong dan malas. Tapi bersyukur pada Allah, masih sering pula menegur hambanya yang sering terperosok ini.
#writingfornation
#W4N
#metodeROIS
#menulisasik
#pesantrenbundasholehah
#menulisdenganhati
Berbeda dari anak jaman old, anak jaman now sudah dihadiahi oleh orang tuanya dengan berbagai jenis mainan dari umur si anak masih batita sebagai bentuk rasa sayang. Begitu pula dengan anak saya, si sulung Shofi, belum genap 2 tahun, saya hadiahi ia sepeda roda tiga. Ini sebagai hiburan ketika ia sudah bosan bermain didalam rumah maka saya akan ajak ia bermain diluar rumah dengan bermain sepeda. Dan saya, anak jaman old baru diberi sepeda ketika kenaikan kelas 3 SD. Kasian. Waktu itu umur saya 7 tahun. Sepeda yang dibelikan oleh abang-abang saya ini merupakan hadiah sepeda pertama saya. Sepeda kecil merk Subaru berwarna ungu tua. Dan pertama kalinya juga saya belajar naik sepeda dari sepeda ungu ini.
Ada beberapa momen menggelikan yang terjadi antara saya dan 'si ungu'. Saat itu sedang musim liburan kenaikan kelas. Abang-abang saya menghadiahi saya si ungu. Saya senangnya bukan main. Saya langsung saat itu juga minta diajarkan naik sepeda. Pergilah saya dan abang saya membawa si ungu ke sekolah di dekat rumah. Halaman sekolah cukup luas jadi aman untuk berlatih tanpa perlu menabrak sana sini. Saya naik setengah duduk. Saat itu sadel sepeda masih agak tinggi dari pinggang saya. Jadi kalau duduk di sadel maka kaki saya akan menjinjit. Kemudian Abang saya memegang bahu dan kemudian membimbing saya cara memegang stang dan mengayuh pedal sepeda dengan benar. Awalnya masih kaku, setelah beberapa putaran akhirnya saya bisa mengayuh sepeda walau masih agak kaku dan sesekali terjatuh. Dibagian ini adalah wajar ketika seseorang mempelajari sesuatu kemudian gagal. Jarang sekali yang bisa melakukan sesuatu kemudian berhasil dengan hanya satu kali praktek. Begitu pun dengan si kecil tia ini. Matahari pun mulai merambat turun di ufuk barat, melihat saya sudah kelelahan, abang mengajak saya pulang.
Saat berjalan pulang saya melewati rumah sepupu saya yang rumahnya memang dekat dengan sekolah. Si Ungu tidak berani saya naiki karena saya masih takut menaikinya di jalan raya. Ndilalah, sepupu perempuan saya ini kebetulan sedang main di halaman rumahnya. Saya memanggilnya dan dengan jumawanya saya menyombongkan diri sudah bisa naik sepeda, dan tanpa babibu saya langsung naik sepeda dan kemudian mengayuh si ungu dengan semangatnya. Sepupu saya ini cuma berlari mengikuti saya dari belakang. Entah kenapa dengan songongnya, merasa sudah pintar mengayuh sepeda saya menoleh ke arah belakang melihat apakah sepupu saya masih mengikuti dan melihat kelihaian saya mengayuh sepeda. Tiba-tiba ketika saya mengarahkan kepala kembali menghadap ke depan tangan saya kaku tidak bisa membelok-belokkan stang dengan benar dan tanpa disadari saya kemudian terperosok dengan lajunya ke got yang penuh dengan air comberan. Baulah sudah saya dan si ungu itu.
Kelas 3 SD saya ikut abang tertua tinggal dirumah Uwan (nenek perempuan dalam bahasa Melayu) di desa dan bersekolah disana selama satu tahun. Pulang pergi sekolah saya mengendarai si ungu. Letak sekolah cukup jauh untuk seumuran saya waktu itu. Tapi karena bersepeda beramai-ramai dengan teman-teman sekolah yang merupakan tetangga saya membuat ritual pergi dan pulang sekolah terasa menyenangkan.
Dan pada siang hari yang cukup cerah, seperti biasa saya pulang beramai-ramai dengan teman yang rumahnya searah dengan saya. Kejadian jatuh ke got yang penuh dengan comberan saat liburan kemarin itu nyatanya gak membuat saya kapok. Kembali saya berulah. Saya mengajak tanding teman saya yang perempuan siapa yang lebih cepat sampai dirumah. Saya pun ngebut mengayuh si ungu. Belum jauh dari sekolah ada jalan yang sedikit membelok, saya kembali kehilangan keseimbangan ketika memegang stang sepeda. Tangan saya kaku, dan sudah terlambat untung mengerem dengan lajunya sepeda yang saya kayuh. Alhasil saya terperosok masuk ke dalam parit yang cukup dalam bersama dengan si ungu. Untung untuk saya yang tidak bisa berenang, air parit tidak dalam, hanya sebatas lutus dan penuh dengan lumpur. Kotorlah sudah baju merah putih yang saya pakai, bukan hanya pakaian, tapi dari kepala hingga ke dalam sepatu penuh dengan lumpur tanah liat. Haha.. Inilah akibat songong tak kenal kapok.. Teman-teman hanya tertawa diatas penderitaan saya. Ampun dah malunya..
Memasuki masa SMA, abang saya membelikan sepeda gunung bekas tapi kondisinya masih cukup bagus untuk dikendarai. Si ungu sudah terlalu kecil untuk dikendarai badan saya yang bongsor. Maka dari itu, saya hibahkan si ungu ke keponakan ketika saya kelas 2 SMP.
Namanya sepeda bekas meski kondisinya cukup bagus tapi ada beberapa onderdilnya yang sudah seharusnya diganti. Nah, rem sepeda saya ini kondisinya sudah aus, udah gak pakem lagi kalau dipake buat ngerem lajunya sepeda. Tapi saya males pergi ke bengkel. Dengan kondisi rem yang seperti itu saya harus ekstra hati-hati di jalan. Gak bisa ngebut-ngebut. Di tambah lagi saya menggunakan rok yang panjang, karena saya sekolahnya di Aliyah. Ini masalah juga. Saya yang mengenakan rok panjang, terus mengendarai sepeda gunung. Otomatis ruang gerak untuk mengayuh gak luwes lagi.
Kenangan cukup menggelikan bersama sepeda kembali terulang. Untuk mencapai sekolah saya harus masuk ke gang sekolah cukup jauh dari jalan raya. Tidak jauh dari jalan raya ada turunan sedikit. Dengan ruang gerak yang terbatas saat mengayuh juga kondisi rem yang aus, setiap melewati turunan saya selalu berdoa semoga gak ada teman-teman yang rame menuhin jalann atau jangan sampe ada kendaraan lain dari arah berlawanan yang menghalangi jalan saya kalau mau menyalip teman yang lagi jalan kaki. Alhamdulillah doa saya selalu dikabulkan.
Hingga suatu hari, doa saya pagi itu gak dikabulkan. Biasanya saya ke sekolah saat jam mepet, alias saat di sekolah sudah waktunya masuk kelas. Tapi hari itu saya memilih pergi agak pagian. Yang artinya jalanan masuk ke sekolah pasti akan ramai. Benar saja, di depan saya teman-teman bergerombol berjalan kaki ke arah sekolah. Saya memutuskan untuk menyalip para pejalan kaki ini dan tiba-tiba kaget karena dari arah sekolah ada motor yang melaju menuju jalan raya. Yang saya khawatirkan terjadi. Rem sepeda gak bisa diajak kompromi. Mau turun dari sepeda kepalang tanggung. Pas pula dijalanan turunan. Tak ayal, saya yang sudah bingung sekaligus ketakutan, demi menghindari menabrak para pejalan kaki dan motor dari arah berlawanan, saya belokkan sepeda saya ke arah kanan, dan meluncurlah dengan mulus nan bergaya saya dan si sepeda terjerembab ke semak-semak yang jauh dari lintasan jalan. Pagi itu berakhir sangat kacau, baju saya kotor. Mau pulang ganti baju tidak memungkinkan. Terpaksa dengan kondisi seperti itu saya seret si sepeda menuju sekolah dan terus merutuk dalam hati. Malunya lagi jahitan pinggir rok saya robek serobek-robeknya. Untungnya saya pakai celana olahraga di dalamnya. Seharian itu saya jadi bahan olokan teman sekelas. Saya sendiri cuma bisa ketawa aja, padahal dalam hati meringis menahan tangis.
Beberapa kejadian bersama sepeda-sepeda saya sering membuat saya tertawa geli sendiri. Kenangan ini menjadi pelajaran hidup. Betapa bodoh dan naifnya saya di masa-masa itu. Terperosok bersama dengan sepeda-sepeda hanya karena sombong dan malas di diri. Hingga saat ini masih sering pula khilaf karena sering berlaku sombong dan malas. Tapi bersyukur pada Allah, masih sering pula menegur hambanya yang sering terperosok ini.
#writingfornation
#W4N
#metodeROIS
#menulisasik
#pesantrenbundasholehah
#menulisdenganhati