Taken From Here |
"Menurutmu bagaimana, Tang? Harus ku apakan rasa yang tiba-tiba
diam menyelinap di hatiku ini?", tanyamu suatu ketika.
Aku ingat di hari berhujan itu kau datang
padaku dengan derai tangismu, dan pakaianmu basah karena kau berlari dibawah
hujan dari rumahmu yang 2 km jauhnya dari rumahku. Hanya untuk meluahkan rasa
yang tak biasa itu.
"Maafkan aku, Ly. Aku tak dapat berkata
banyak". Aku memeluk tubuh yang kedinginan itu. "Aku sudah pernah
mengatakan padamu, Ly. Bukankah kita sudah berjanji? Persahabatan jangan kita
langgar dengan cinta, karena akan berakibat seperti ini. Mestinya kau bisa
mencegahnya, Ly".
Kau mendadak melepaskan pelukanku. Dengan
kepala masih menunduk, kau mengusap basah matamu, air hujan yang juga bercampur
airmatamu.
Kemudian kau menatapku. “Aku mengerti. Aku
mengerti. Bahkan, kau pun tak bisa membantuku. Tidak akan ada yang mau
membantuku. Terima kasih atas pelukanmu, Tang”.
Kau memutar tubuhmu, dan melangkah pergi. Aku
ingin mencegahmu untuk pergi, tapi tubuh ku kaku tidak mau bergerak. Tangan dan
kakiku tak menurut pada otakku. Aku hanya bisa melihatmu pelan-pelan pergi
menjauh, pelan-pelan kini air mataku yang turut membasahi pipiku.
“Maafkan aku, Ly”, bisikku pelan. Berharap
hujan akan menyampaikan maafku padamu.
***
Hari-haripun berlalu sejak pengakuanmu bersama
tangis dibawah hujan. Hati yang berharap dan hanya sanggup mencintai dalam
diam. Cinta yang tak bisa kau dapatkan pasti sangat menyiksamu. Sakit, pastinya
sakit rasanya. Kini kau pergi. Pergi dari edaran mataku, dan cerita kita. Membawa
segudang sakit yang entah kapan akan sembuh. Aku pun tak bisa menduga obat mana
yang akan kau gunakan untuk menyembuhkan luka-luka itu. Semoga obat yang
mujarab, doaku.
***
Lily. Nama gadis manis yang menangis dibawah
hujan itu. Sifatnya bagai musim diawal Januari di kota Khatulistiwa, yang bisa
hujan tiba-tiba, terkadang panas membakar, atau hanya angin sepoi-sepoi saja,
atau mendadak diterjang angin kencang. Sering mencereweti segala sesuatu, seperti
sembako dan bahan bakar yang semakin hari semakin naik, Listrik yang mati hidup
tapi bayar terus, pemerintahan yang senang korup pun tak luput ia cereweti.
Tapi di lain hari Lily akan sangat pendiam,
melebihi orang bisu sekalipun. Saat ia diam, aku hanya bisa ikutan diam tanpa
bisa menanyakan ada apa dan mengapa ia diam begitu. Karena aku tau, ia diam
tidak akan seharian penuh. Ketika gadis ini lelah berdiam diri, ia akan memulai
berbicara padaku terlebih dahulu, dan mengurai semua masalahnya. Dan Lily pun
kembali cerewet seperti biasa, melebihi cerewetnya Mpok Nori yang ada di
televisi.
Sungguh pun dengan keanehan-keanehan karakter
yang dimiliki Lily tak menyurutkan aku untuk menjadikannya sahabat terbaik.
Hingga kini pun sayangku terlalu berlebih untuknya.
Sejujurnya sifat aneh Lily itu tidak jauh beda
denganku. Hanya saja aku ini lebih suka bersikap (sok) dewasa dibanding dirinya
yang terlihat seperti anak kecil ketika berbicara.
***
“Hai, sama-sama dong larinya?”. Tiba-tiba aku
dikejutkan oleh suara lembut seorang gadis yang mengikuti berlari dari samping
kiriku. “Eh, ya boleh. Ayo, sama-sama”, jawabku canggung dengan muka bingung.
Senyum tipis tidak lupa kuberikan pada gadis manis itu.
Itulah kali pertama aku, Lintang, dan Lily
berkenalan. Awal perkenalan kami pada saat
mengikuti PMB di hari ketiga. Di hari berhujan itu Lily menghampiriku
untuk mengajak berlari-lari bersama-sama ketika kami para mahasiswa baru atau
seringnya disingkat MABA, supaya terdengar keren, disuruh berlari oleh
senior-senior yang berpura-pura galak ke Auditorium Universitas Tanjungpura.
Sepanjang perjalanan dari fakultas ke Auditorium yang kami tempuh cukup jauh,
kami berdua saling bertukar tanya jawab nama, alamat rumah, jurusan, asal SMA
sebelumnya, dan teman-teman yang mungkin dikenal. Obrolan basa-basi yang
umumnya dilakukan oleh dua orang yang sebelumnya tidak saling kenal berhasil
merekatkan persahabatan yang terjalin antara aku dan Lily.
Beberapa bulan lamanya kami berteman, kami
menemukan banyak kesamaan yang seringnya mengagetkan. Nama kami sama-sama
dimulai dengan huruf “L”, Lily dan Lintang. Kami sama-sama pencinta kopi hitam.
Meski menyukai kopi hitam, kami masing-masing mempunyai kopi spesial sendiri.
Lily maniak Caffe Latte, dan aku pencinta Cappuccino. Hampir setiap Minggu sore
kami belajar otodidak untuk meracik jenis-jenis kopi dari buku-buku yang ada.
Kami berdua suka hujan. Aku suka hujan gerimis
yang hampir semirip salju, sedang Lily senang melihat hujan di senja hari. Kami
juga tukang pemimpi. Kami berdua sering berkhayal kami berpetualang ke
negeri-negeri antah berantah, dimana ada manusia-manusia keren bernama Aragorn,
Legolas, dan Frodo menjadi Three Musketer di dunia per-Cinderela-an, tapi jelas
kami tidak mau ada Cinderella menjadi putri cantiknya. Lily ingin menjadi Putri
Lily. Toh, imajinasi tidak ada yang bisa melarang. Suka-suka pemiliknya ingin
berkhayal. sedangkan aku hanya mau jadi pengembara saja, sang pengembara yang
mengujungi segala kerajaan-kerajaan antah berantah yang banyak dituliskan oleh
penulis-penulis terkenal.
Dari semua kesamaan dan imajinasi yang aku dan
Lily khayalkan, kami punya satu-satunya perbedaan yaitu aku suka membaca dan
Lili suka mendengarku bercerita. Ia tak suka membaca, lebih senang medengarku
berkicau tentang buku, novel, atau komik yang baru aku baca.
Dalam keriuhan persahabatan aku dan Lily tanpa
disadari duo “L” ini bertambah satu anggota. Guntur, laki-laki berperawakan
manis dan tidak terlalu tinggi. Kulitnya putih seperti buah bengkoang, sampai
aku dan Lily merasa minder untuk dekat-dekat dengannya. Sekilasnya wajahnya
tampak mirip dengan artis sinetron Baim Wong dengan mata yang cukup sipit.
Hanya saja Wajah Guntur cenderung bulat seperti bola. Ketika tertawa, hilang
sudah matanya tertutup kelopak matanya yang sipit itu.
Awalnya kami tidak dekat dengan Guntur,
walaupun ia kuliah di jurusan yang sama dengan aku dan Lily. Hanya sekedar
kenal dan tahu namanya Guntur. Tetapi, sejak ia pindah rumah satu kelurahan
dengan rumah ku dan Lily, sejak itu pula dia menjadi salah satu sahabat kental
ku. Sering, sore hari kami habiskan dengan bermain bulutangkis. Guntur pun kini
mencoba meracik-racik kopi. Dan jelas ia bukan penikmat kopi yang baik, karena
selalu hasil dari racikannya membuat aku dan Lily seperti merasa memakan permen
kopi yang sudah kadaluarsa tiga tahun. Lebih menyenangkan adalah mereka berdua
selalu menyuruhku berbuih-buih membaca buku dengan suara nyaring.
Waktu favorit kami bertiga adalah ketika
menunggu senja turun ke peraduan di atas loteng terbuka di rumah Lily.
Saat-saat yang paling menakjubkan bagi aku, Lili, dan Guntur. Kami berebut
untuk berpuisi ria dengan tema senja yang kami lihat. Terserah puisi itu masuk
akal atau tidak, bagus atau jelek.
Lain waktu, sambil menikmati senja di atas
loteng rumah Lily, kami hanya ngobrol ngalur ngidul, atau curhat tentang
keluarga, film-film yang ditonton, isu-isu yang sedang berkembang di
masyarakat, atau curhat tentang orang yang sedang ditaksir.
Seperti sore di musim kemarau yang cukup cerah
ini. Langit cukup bersih dan hanya sedikit terlihat awan tipis di penghujung
langit sana. kami bertiga berkumpul di loteng terbuka rumah Lily seperti biasa.
Ada begitu banyak camilan yang dibuat Lily. Lily cukup pandai memasak dan
membuat cemilan atau kue-kue. Sore ini dia membuat setoples kue kering coklat
dengan remahan Coco Crunch diatasnya. Satu cetakan agar-agar jelly isi nenas
ukuran sedang yang aku pikir rasa manisnya bisa membuat penderita diabetes mati
mendadak, dan Lily bilang itu tidak manis. Bagus, aku pikir Lily merupakan
penyumbang korban diabetes yang diketahui. Tidak lupa disediakan roti bakar
yang dijual tetangga Lily, ada rasa strawberry dan cokelat, ini cemilan
kesukaanku dan Guntur, kami sering berebutan siapa yang akan menghabiskan
potongan roti bakar terakhir. Tidak ketinggalan buah pisang yang selalu
disuguhkan Ibu Lily dengan senang hati setiap kami main ke ruma Lily, diam-diam
sepertinya Ibu Lily punya kebun pisang berhektar-hektar sehingga pasokan pisang
segala jenis selalu ada dirumahnya. Terakhir, seteko air putih dan minuman
favorit kami, kopi.
“Aku sedikit merasa aneh”, kata Lily tiba-tiba.
“Aneh apanya, Ly?” jawab Guntur cuek, tanpa
memalingkan wajah ke Lily. Guntur tengah asyik bersmsan, mungkin dengan
gebetannya Sarah, atau Valin, atau Bitta. Yah, lumayan banyak gadis-gadis
diluar sana yang menyukai Guntur, secara mirip-mirip Baim Wong.
Aku sendiri sibuk dengan notebook ku, Pico, searching dan membaca postingan-postingan salah satu teman
blogger. “Kamu lagi ngelindur, Ly?”, kata ku iseng.
“Ih, kalian! Aku lagi serius ini. Aku lagi
mikir-mikir saja. Kita sudah tiga tahun lebih sahabatan. Pernah tidak kalian
berdua mikir, sampai kapan persabatan kita akan bertahan? Kalau di masa depan
kita ada konflik, kita bakalan tetap seperti ini tidak? Makan bareng, ngampus
bareng, maen bareng”, tanya Lily. Kalau Lily sudah serius begini waktunya aku
dan Guntur melepas kesibukan yang dari tadi kami lakukan.
“Memangnya kamu mau kita ribut-ribut?
Berantem-berantem sampai tidak teguran?”, Guntur balik bertanya dan memperbaiki
posisi duduknya agak mendekat ke arah ku dan Lily.
“Bukan itu maksudku, Gun. Aku ya tidak maulah
kita berantem, ribut-ribut. Aku senang dan bahagia kita sahabatan begini.
Jangan sampai ya kita musuhan di masa depan”, ujar Lily kemudian mengambil beberapa
agar-agar jelly dan memasukkan semuanya ke mulutnya. “Nah, syathuh lhaghih...”,
dengan mulut yang masih penuh agar-agar jelly Lily melanjutkan omongannya dan mengacungkan
jari telunjuknya.
“Heh! Habiskan dulu makanan di mulutmu”,
tegurku. Aku memberikan segelas air putih pada Lily, dan ia pun meneguk habis
agar-agar jelly itu.
“Nah, satu lagi...”, Lily menggantung
kata-katanya dengan senyum yang sedikit miring dan aneh. Guntur dan aku hanya
bengong melihat kelakuan Lily.
“Apa sih Ly. Kamu tuh mau ngomong apa?? Ngomong
kok gantung begitu”, Guntur mulai penasaran dengan kata-kata yang akan
diucapkan Lily.
Lily menatapku dan Guntur bergantian. Dia
mendesah sedikit, dan menghirup udara pelan-pelan. Aku hanya diam bengong saja
melihat Lily yang sedikit aneh.
“Aku mau buat perjanjian”, kata Lily tegas.
“Perjanjian apa?”, tanya ku kaget bercampur bingung.
Aku menoleh ke arah Guntur yang juga bingung dengan kata-kata Lily barusan.
Lily berdiri, kemudian berjalan ke samping kiri
dan kanannya, dan mendadak berhenti, kemudian berkata bak ratu Inggris yang
sedang memberikan titahnya.
“Perjanjian ini dibuat demi keamanan dan
kenyamanan serta ketentraman persahabatan kita bertiga. Dan, agar supaya persahabatan
yang kita rajut dan jalin ini terus langgeng hingga kita tua sampai jadi
kakek-nenek. Maka dari itu, Putri Lily ingin mengajukan perjanjian, yaitu
antara Putri Lily, Lintang si Pengembara dan Guntur Wong tidak boleh saling
jatuh cinta...”, Lily berhenti sejenak dan memberi kode dengan menempelkan jari
telunjuk ke bibirnya sebagai tanda kami harus diam dan tidak boleh memotong
pidatonya itu. Lily kemudian melanjutkan pidatonya, “...Ataupun punya rasa
suka. Jika perjanjian ini dilanggar maka akan mendapat hukuman untuk
masing-masing pelakunya, yakni manusia bertiga ini tidak boleh bertemu sebulan
lamanya dan bayar denda dengan mentraktir nonton film 1 bulan sebanyak 4 kali”,
Lily tersenyum dengan jumawa. “Oke, oke, silahkan siapa yang mau komplain sama
perjanjian ini?”, Lily menyilangkan tangannya, keningnya berkerut dengan alis
kanan naik ke atas, dan bibirny pun ikut mengkerut. Dengan ekspresi yang dia
buat seperti mencoba mengatakan, “Awas yang tidak setuju sama perjanjian yang
aku buat!”.
“Lily, kamu demam?”, tanya Guntur usil sambil
meraba kening Lily. Guntur menoleh kepadaku, punggung tangannya masih menempel
di kening Lily. “Iya Tang, Lily memang lagi demam!”, seru Guntur dan kembali
memutar kepalanya menoleh ke arah Lily. “Sini Ly, aku antar ke Rumah Sakit
Jiwa, ada tuh sisa formulir satu lembar di rumah ku. Aku pulang ambil
formulirnya dulu ya?”, Guntur pura-pura berdiri hendak mengambil tas dan pergi
pulang.
Mendadak perang bantal dunia ketiga pun
terjadi. “Apaan sih?! Aku tuh serius!”, Lily memanyunkan bibirnya. Beberapa
tissu diambilnya dan diremas-remas membentuk gumpalan-gumpalan kecil dan
dilemparkan Lily ke arah ku dan Guntur.
Perang bantal dunia ketiga pun selesai, dan
kami bertiga terkapar dibuatnya.
Guntur masih penasaran kenapa tiba-tiba Lily
mengatakan hal konyol semacam itu. “Ly, kamu benar-benar aneh. Percaya deh,
kita akan selalu sama-sama. Sampaaaaaiiiiii tua”, Guntur merentangkan tangannya
selebar-selebarnya untuk menggambarkankan kata “sampai tua” sambil nyengir.
“Yah, aku tau ko, Gun. Ini buat jaga-jaga saja.
Namanya hati, orang tidak ada yang tahu, bahkan pemiliknya pun mungkin tidak
akan sadar. Perjanjian ini aku buat, agar persahabatan kita selalu langgeng
abadi nan jaya”.
“Wuih..., berat deh bahasanya...”, olok Guntur.
Lily hanya mendelikkan matanya ke arah Guntur.
Aku merangkul pundak Lily dari samping
kanannya, “Hei, Lily yang manis. Sini deh aku jelasin. Persahabatan kita ini
berlandaskan kasih sayang. Kalau ada perhatian yang berlebihan antara kita
memang itu karena adanya rasa peduli dan
sayang satu sama lain. Kita selalu kumpul dan kemana-mana bertiga.
Curhat-curhat masalah kuliah, keluarga, calon masa depan juga bertiga. Kalau
pun mungkin ada sesuatu yang berbeda dengan hati kita, anggap saja itu hal yang
biasa. Mengerti kan maksudku?”, Aku menghentikan sejenak khotbah panjangku.
Tidak ada yang berkomentar.
Aku kembali melanjutkan, “Kita sahabatan sudah
berapa lama, sih?”, tanyaku berusaha menghitung kembali.
“Tiga tahun”, jawab Guntur singkat.
“Yup, benar 100 buat kamu, Gun. Entar hadiah
semangkok indomie ambil di kantin Bu Jan, yah”, candaku diiringi tawa Lily.
“Yee, tadi kan Lily sudah ada bilang begitu”,
ujar Guntur sedikit memonyongkan bibirnya.
Dan aku pun mulai sok berfilosofis,
“Persahabatan kita ini tidak terjalin secara otomatis serta membutuhkan proses
yang cukup panjang, seperti perjuangan tukang besi menempa besi untuk membentuk
sebuah pedang yang indah dan kuat. Persahabatan kita juga diwarnai dengan
berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-tersakiti, diperhatikan-dikecewakan,
didengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua tidak pernah dilakukan karena
kebencian. Dan persahabatan kita ini harus punya komitmen”. Aku pura-pura
berpikir dan mengetukkan jariku di dagu.
“Oke! Aku setuju dengan perjajian yang dibuat
dadakan oleh Lily”, tangan kananku rentangkan ke depan membentuk highfive, kemudian diikuti Guntur dan
Lily.
“Deal!”, kata kami serempak dengan suara yang
nyaring dan tertawa bersama-sama.
***
Waktu terus berjalan semakin melaju tiap
harinya seiring bertambahnya rutinitas masing-masing. Di akhir masa perkuliahan
sambil mencari inspirasi untuk Tugas Akhir, aku mendapat pekerjaan di sebuah
perusahaan periklanan. Sedang Guntur dan Lily tetap berkonsentrasi pada Tugas
Akhir mereka masing-masing.
Sejak bekerja, aku mulai jarang ikut berkumpul
bersama Guntur dan Lily. Bahkan sms maupun telepon dari mereka seringkali aku
abaikan, kecuali di hari Minggu. Lily tipe orang yang tidak suka diabaikan, dan
aku pun terkena dampratnya. Aku sering dimarahi terkait dengan ketidakberesanku
dalam membalas sms dan mengangkat telpon. Yang terjadi kemudian adalah seperti
ini:
“Lintang! Kemana saja sih kamu?!, sms tidak
dibalas, telepon tidak diangkat? Jangan sibuk sendiri begitu dong!”. Atau...
“Lintang! Kamu mau pilih mana? Handphone kamu ku jual ke rentenir atau
aku buang ke laut? Punya handphone
kok tidak digunain dengan benar, sih?” Atau...
“Mau alasan apalagi Tang?! Tidak ada pulsa? Handphone kamu rusak? Sudah, sini kasi
aku saja handphonemu. Kamu tidak perlu punya handphone.” Dan dengan muka santai tidak bersalah pula, handphoneku disita Lily dan ditahan
sampai 1 minggu. Tapi, tentu saja aku tidak marah. Aku cuek saja dengan
kemarahan-kemarahan yang dilontarkan Lily kepadaku. Toh, aku pikir sementara
aku sibuk ada Guntur yang menemani dan menghiburnya.
Tanpa kusadari, pelan-pelan Lily tidak ambil
peduli lagi ketika aku absen ikut ngumpul bersama mereka berdua. Justru,
sekarang ia lebih sering menghabiskan waktu pergi atau jalan berdua saja dengan
Guntur. Jujur, aku merasa diabaikan dan sedikit kecewa juga menyesal.
Ku akui hubungan persahabatan kami merenggang,
ini terjadi karena keegoisanku yang lebih mementingkan pekerjaan. Sampai
kemudian mereka berdua telah menyelesaikan masa perkuliahan lebih dulu dari ku.
Dan mereka juga mulai sibuk mencari pekerjaan masing-masing. Sedangkan aku
masih berkutat dengan Tugas Akhir yang telah kuabaikan beberapa bulan karena
sibuk bekerja.
Perubahan yang lebih menonjol dari semua ini
adalah Lily dan Guntur yang semakin dekat setiap harinya. Awalnya aku tidak
terlalu memusingkan hal ini. aku pun merenungkan kejanggalan ini sambil lalu
saja. Hingga di suatu tengah malam berhujan yang cukup deras pintu rumahku
digedor-gedor cukup keras.
“Siapa sih yang tengah malam begini berani
menggedor-gedor rumah orang? Disaat hujan deras pula”, gerutuku.
Kemudian aku menuju pintu dan membuka pintu.
Aku terkejut ketika mengetahui siapa pelaku dari pengedor pintu rumahku.
“Lily!”, Aku berseru terkejut.
Mendadak Lily memelukku, dan kurasakan tubuhnya
yang menggigil kedinginan. Bajunya basah kuyup, aku pun turut basah karenanya.
“Ada apa, Ly?”, tanyaku panik.
Lily perlahan melepas pelukannya. Aku
melihatnya dari atas hingga ke bawah. Aku ajak ia masuk ke dalam rumahku, tapi
ia menolak.
"Menurutmu bagaimana, Tang? Harus ku
apakan rasa yang tiba-tiba diam menyelinap di hatiku ini?", tanyamu
sesegukan. Ku lihat ke arah luar pagar, tidak kudapati motor matic Lily dimana
pun. Sepertinya Lily berlari sambil menangis ke rumahku yang jauhnya cukup jauh
sekitar 2 km. Dia terlihat terengah-engah kepayahan menyelesaikan kalimatnya,
belum lagi ditambah derai tangisnya.
"Maafkan aku, Ly. Aku tak dapat berkata
banyak". Aku kemudian memeluk tubuh yang kedinginan itu. Erat. Aku tahu
benar siapa yang dimaksud Lily, orang yang sudah membuatnya menangis. Ini semua
karena Guntur, sahabat karibku.
"Aku sudah pernah mengatakan padamu, Ly.
Bukankah kita sudah berjanji? Persahabatan jangan kita langgar dengan cinta,
karena akan berakibat seperti ini. Mestinya kau bisa mencegahnya, Ly".
Lily mendadak melepaskan pelukanku. Dengan
kepala masih menunduk, ia mengusap basah dimatanya, air hujan yang juga
bercampur airmatanya. Kemudian Lily menatapku, lama. “Aku mengerti. Aku
mengerti. Bahkan, kau pun tak bisa membantuku. Tidak akan ada yang mau
membantuku. Terima kasih atas pelukanmu, Tang”.
Lily memutar tubuhnya, dan melangkah pergi. Aku
ingin mencegahnya untuk pergi, tapi tubuh ku kaku tidak mau bergerak. Tangan
dan kakiku tak menurut pada otakku. Aku hanya bisa melihatnya pelan-pelan pergi
menjauh, pelan-pelan kini air mataku yang turut membasahi pipiku.
“Maafkan aku, Ly”, bisikku pelan.
Berharap hujan akan menyampaikan maafku padanya.
***
4 tahun lamanya sejak malam berhujan itu. Masih
teringat jelas dalam ingatanku kau datang kerumahku dengan derai tangismu dan
hujan yang membasahimu. Hatiku kadang perih dan sedih bila mengingatnya. Tapi,
lihatlah dirimu kini. Lily, gadis manis yang menangis dibawah hujan itu
tersenyum sumringah memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih, dan berlari
ke arahku kemudian memelukku erat.
“Kau bertambah gemuk dan cerah, Ly”, komentarku
melihat Lily dari bawah sampai ke atas kepalanya.
“Yah, begitulah”, ujarmu pendek sambil tertawa
lebar.
“Wah, lihat! Bocah-bocah ku juga ikut?”,
tanyaku terkejut.
Kejutan manis, aku pikir hanya Lily saja yang
pulang ke kota Khatulistiwa ini. ternyata Lily pulang bersama, Aisha dan Ali,
dua anaknya yang terlahir kembar, serta Guntur.
Kembali melintas kenangan 4 tahun lalu, karena
terikat oleh komitmen yang kami buat, Lily terjebak oleh perasaannya sendiri.
Sekian lama ia mencintai dalam diam dan tak mampu menahan bendungan rasa ganjil
itu terhadapku. Yah, aku salah sangka. Aku pikir lelaki yang dicintainya
diam-diam itu adalah Guntur. Aku salah besar. Justru akulah penyebab
tangisannya itu. Penyebab sakit hati yang disimpan Lily selama tahun-tahun kami
bersahabat. Dan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa melanggar janji
yang telah kami buat juga janji yang telah ku buat pada Titan, kekasihku.
Akhirnya, Lily pun pergi ke Bandung untuk mencoba melupakanku.
Tapi, Tuhan memang punya rencana sendiri. Guntur ternyata diam-diam teramat
mencintai Lily dan meninggalkan segalanya untuk menyusul Lily.
“Om Lintang sama siapa datangnya?”, tanya Ali.
Ia masih berumur 3 tahun tapi cukup lancar berbicara untuk anak seumurannya.
“Ini tante Titan, sayang. Ayo salaman dulu”,
jawab Guntur sembari menyuruh Ali dan Aisha bersalaman dengan Titan, tunanganku.
Aku dan Titan akan menikah seminggu lagi. Lily
dan Guntur datang ke kota Khatulistiwa ini untuk menghadiri acara pernikahanku,
sekalian juga mereka sekeluarga akan kembali menetap kembali di kota ini.
“Ayo, Ali dan Aisha ikut Om Lintang. Om anterin
kalian dengan mobil Om. Nanti sore, Om temani kalian main ke alun-alun. Ada
bebek engkol, sama kereta api loh. Kalian bakalan main-main sampai puas.”
Kataku tersenyum sambil menggandeng tangan Ali dan Aisha menuju ke mobil sedan
ku, yang ku parkir di parkiran Bandara Supadio.
Kota Khatulistiwa hari ini cukup cerah, secerah
hatiku melihat Lily dan Guntur kembali ke kota Khatulistiwa yang panas ini.
*THE END*
NB: Untuk kedua sahabat ku tersayang.. Diselesaikan selama seminggu sampai dengan tanggal 16 Januari 2013,
20:41, di malam Rabu yang cerah dan ceria.
20 komentar:
INI KISAH NYATAA? atau cuma fikif kak? huaaaaaaaaa suka banget sama gaya bahasa kak tia, cara penyampainya enak dibaca.. suka :D
Nice story kak chyn, Ihiy! :*
Campuran lie... aku jadiin gado2... hehehee... iii senengnya ada yg suka sm cerpen ku.. makasii yaaa :* :*
cerpen ini bukan cerpen biasa. betulan bagus, suka saya dgn gaya penulisannya. :-D
wuaaaa Alhamdulillah kalau suka cerpen saya... komen pendek ini sungguh berarti... makasi makasii ^o^
blognya manis, cerpennya manis, bahasanya sederhana tapi asik. saya suka sama tulisan kamu. :D
Syukran Riesna, Alhamdulillah nambah lg org yg suka cerpen ini... makasi makasi ^o^
Salam kenal yaa ^o^
Sukak sama ceritanya, Bagus,
Cerita pribadikah?
Salam kenal dr Batam ^^
keren cerpennya....emang susah yak kalo punya sahabat beda jenis, pasti ada rasa lain yang menghiasi...
kunjungan pertama nih :)
sebagian iya yg lainnya tambahan hehehee... makasih ya dian dah maen ke lapak saya ^o^
Salam kenal juga dr kota KhatulistiwaPontianak :)
Syukran Rima... ^o^
Iya, susah-susah gampang... walaupun udah pake tameng segala jenis, namanya hati siapa yg tau ^-^ hehee...
wah, keren cerpennya. dapet ilmu nih dalam kunjungan pertama saya. :)
bahasa simpel ga muluk-muluk jadi enak baca tulisannya :)
jadi ingat novel 5 cm... ceritanya bagus, hanya ada beberapa typo :)
yuk, ikutan GA beranicerita yuk, DL 21 februari 2013. cuma buat flash fiction nggak lebih dari 500 kata ajah kok. ceki-ceki disini yak : http://mamaarkananta.blogspot.com/2013/02/giveaway-beraniceritacom.html
Syukran Mas Banyu atas kunjungannya... :)
Nah itu, jujur saya belum pernah baca bukunya, cuma nonton filmnya sampai 2 kali... kata temen saya cerita ini mirip2 ama novel 5cm... jd gak enak :(
tp syukran ya mbak atas kunjungannya ke lapak saya.. ^.^
Saya suka dengan perumpamaan "Sifatnya bagai musim diawal Januari di kota Khatulistiwa, yang bisa hujan tiba-tiba, terkadang panas membakar, atau hanya angin sepoi-sepoi saja, atau mendadak diterjang angin kencang." - kok bisa terpikir ke situ yah penulisan cerpennya? Bagus! :D
Bagus bangeet kak :')
Di pontianak emang gitu kalau di bulan Januari, cuacanya galau...
Makasih Reza ^o^
Syukran Rediska dah maen kelapak saya ^o^
sekali membaca... dilahap habis tiap katanya, tak ada yg dilewatkan. Asyik deh ceritanya...
Semoga ceritanya menghibur yah mbak Niken ^o^... syukran..
Posting Komentar
tinggalkan komentarmu disini, maka aku akan berkunjung ke tempatmu... ^o^