“Hujan. Kembali menceritakan tentang hujan. Dan takkan pernah ku merasa
bosan. Malam ini hujan tak berkunjung. Rindu dentinganmu. Sungguh.”
Barusan liat postingannya Kak Ayu di tumblr tentang puisi hujannya Sapardi
Djoko Damono. Ehhmm, romantis sekali. Mendadak rindu hujan, padahal
sudah sering bertemu hujan.
Ah, penyakit apa namanya jika begitu menggilai hujan. Seringnya
bingung menggambarkan betapa hujan itu menyenangkan kepada orang-orang.
Tapi lebih menyenangkan bertemu mereka yang begitu mencintai hujan
seperti kekasih. Merasakan efek yang sama ketika bercerita hujan
menyentuh kulit. Menyenangkan bukan?
Sedikit dari sekian sajak-sajak puisi Sapardi Djoko Damono
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
Tajam Hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982
Hujan bulan Juni
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Kepada Penyair Hujan
Lembut sayap-sayap hujan menggelepar di antara pepohonan
dan rumput liar di remang sajakmu.
Seperti kudengar kepak sayap burung
dari khasanah waktu yang jauh.
Matahari sebentar lagi padam.
Senja hanya diam mengagumi
selendang panjang warna-warni
yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya;
malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya.
dan rumput liar di remang sajakmu.
Seperti kudengar kepak sayap burung
dari khasanah waktu yang jauh.
Matahari sebentar lagi padam.
Senja hanya diam mengagumi
selendang panjang warna-warni
yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya;
malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya.
Hujan yang riang, yang melenyap pelan
dengan derainya yang bersih,
makin lama makin lirih dan akhirnya lengang.
dengan derainya yang bersih,
makin lama makin lirih dan akhirnya lengang.
Tapi kudengar juga hujan yang risau dan parau.
Seperti kudengar seorang musafir
kurus dan sakit-sakitan
batuk terus sepanjang malam
dengan suara serak dan berat,
berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak
yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat.
Seperti kudengar seorang musafir
kurus dan sakit-sakitan
batuk terus sepanjang malam
dengan suara serak dan berat,
berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak
yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat.
Musafir itu bikin unggun di atas sajakmu. Aku akan menemaninya.
(1999)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo
"Hujan, selalu ku nantikan..." |
4 komentar:
hujan... selalu punya cerita dibaliknya... salam ukhuwah kaka
nice post :)
ditunggu kunjungan baliknya yaah ,
huhuu,,, maaf ya baru saya bales... :(
salam ukhuwah juga adek,,, ^.^ semangaatttt!
taraarenkyuuuu.... ^o^
Posting Komentar
tinggalkan komentarmu disini, maka aku akan berkunjung ke tempatmu... ^o^